Pembangunan industri jasa konstruksi di Indonesia mencapai puncaknya pada periode 1967 – 1996 atau sampai awal 1997, yang mana pada saat itu Indonesia untuk pertama kalinya menetapkan Pembangunan Jangka Panjang Tahap – I ( PJP-I ), yang dijabarkan dalam REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Selama kurun waktu 30 tahun tersebut, kontrak-kontrak konstruksi yang dibuat tidak mengacu pada suatu acuan atau landasan hukum yang baku. Satu-satunya acuan yang ada pada kurun waku saat itu adalah Syarat-syarat Umum (AV 41) dan dibuat sebelum Indonesia merdeka.
Tahun 1999, terbit Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, tentang Jasa Konstruksi. dengan diikuti peraturan perundangannya Peratuaran Pemrintah Nomor 29 tahun 2000 tentang penyelengaraan jasa konstruksi, Perpres Nomor 4 tahun 2015 tentang perubahan Keempat atas Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang jasa Pemerintah, dan Permen PUPR Nomor 31/PRT/M/2015 /Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2015. Peraturan peraturan itulah yang sekarang harus dipedomani oleh para pelaku Usaha Jasa Konstruksi di Indonesia, baik Instansi Pemerintah maupun Perusahaan Swasta / BUMN.
Seiring dengan arus globalisasi, terbuka peluang bagi Indonesia untuk ikut terlibat dalam tender proyek-proyek konstruksi Internasional. Oleh sebab itu, maka para pelaku usaha jasa konstruksi harus memahami dan menggunakan standar / system kontrak konstruksi Internasional seperti : AIA, FIDIC, JCT, SIA, dan sebagainya beserta format, istilah dan perbandingannya dengan system kontrak yang berlaku di Indonesia. Para pelaku usaha jasa konstruksi juga perlu mengetahui cara-cara menyusun kontrak konstruksi yang baik untuk mengurangi terjadinya sengketa di kemudian hari.
![]() |
Anwar Subianto - Ahli Manajemen Kontrak - PT Procurindo Selaras Mandiri |
Terbuka untuk umum